Perkembangan Moral dan Kecerdasan Spiritual Anak
Monday, June 25, 2018
Edit
Ciptakan iklim belajar yang kondusif bagi perkembangan moral dan kecerdasan spiritual peserta didik. |
Setiap individu sebagai bagian dari masyarakat diharapkan bersikap sesuai dengan cara yang disetujui masyarakat. Belajar berperilaku sesuai dengan yang disetujui masyarakat merupakan proses yang panjang dan lama yang terus berlanjut sampai usia remaja. Interaksi sosial memegang peranan penting dalam perkembangan moral, karena anak mempunyai kesempatan untuk belajar kode moral dan mendapat kesempatan untuk belajar bagaimana orang lain memberikan penilaian. Bila penilaiannya positif maka akan memotivasi untuk menyesuaikan dengan standar nilai yang berlaku.
a. Moralitas Merupakan Hasil Belajar
Hati nurani atau skala nilai merupakan hasil dari proses belajar untuk belajar berperilaku sesuai dengan yang disetujui masyarakat. Salah satu tugas perkembangan yang penting di masa kanak-kanak sebelum masuk sekolah mereka diharapkan sudah mampu membedakan yang baik dan salah dalam suatu situasi yang sederhana, hal itu merupakan dasar bagi perkembangan hati nurani. Sebelum masa kanak-kanak berahir, amat diharapkan anak dapat mengembangkan skala nilai atau hati nurani untuk membimbing mereka dalam mengambil keputusan moral.
Menurut Hurlock (2013: 75) terdapat empat pokok utama dalam mempelajari sikap moral sebagai berikut ini.
1) Mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana dicantumkan dalam hukum, kebiasaan, dan peraturan.
2) Mengembangkan hati nurani atau suara hati merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting pada akhir masa kanak-kanak. Suara hati juga dikenal sebagai “cahaya dari dalam” dan polisi internal yang mendorong anak untuk melakukan hal yang benar dan menghindari hukuman.
3) Belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu bila perilakunya tidak sesuai dengan harapan kelompok. Ausubel (Hurlock, 2013:78) menjelaskan rasa bersalah merupakan salah satu mekanisme psikologis yang paling penting dalam proses sosialisasi. Hal itu juga merupakan unsur penting bagi kelangsungan hidup budaya karena hal itu merupakan penjaga yang paling efisien dari individu.
4) Mempunyai kesempatan berinteraksi sosial dengan anggota kelompok sosial. Interaksi sosial memegang peranan penting dalam perkembangan moral.
Pada masa ini anak sudah mempertimbangkan situasi khusus mengenai moral yang baik dan salah. Menurut Piaget (Hurlock, 2003:163) pada masa ini anak mulai menggantikan moral yang kaku menjadi relativisme, contohnya anak umur 5 tahun berbohong itu buruk, anak yang lebih besar berbohong itu dibolehkan dalam situasi tertentu. Anak akan berusaha menyesuaikan diri dengan peraturan kelompok agar diterima oleh kelompoknya. Oleh karena itu sekolah harus memberikan perhatian pada pendidikan moral mengenai konsep benar dan salah serta alasannya mengapa perbuatan itu diperbolehkan atau dilarang, agar peserta didik memahami konsep benar dan salah secara lebih luas dan lebih abstrak. Penerapan konsep benar dan salah harus diberikan secara konsisten oleh guru dan orang tua.
Kehidupan moral tidak dapat dipisahkan dari keyakinan beragama, karena nilai-nilai moral bersifat tegas, pasti, tetap, serta tidak berubah karena keadaan, tempat dan waktu. Nilai ini bersumber dari agama (Daradjat: 2010:156)
b. Tingkat dan Tahapan Perkembangan Moral
Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap (Santrock, 2010:118-119). Terdapat tiga tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg adalah internalisasi, yaitu perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
2. Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan. Menurut Zohar dan Marshal kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi yang dimiliki manusia, karena paling berperan dalam kehidupan manusia. Kecerdasan spiritual merupakan aspek yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian manusia. dan merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif (Agustian, 2001:57).
Setiap orang pernah mengalami penghayatan keagamaan bahwa di luar dirinya ada kekuatan yang Maha Agung yang melebihi apapun. Penghayatan keagamaan menurut Brightman (Makmun, 2009:108) tidak hanya mengakui atas keberadaan-Nya melainkan juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eksternal (abadi) yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta.
a. Tahap Perkembangan Penghayatan Keagamaan Usia Sekolah dan Karakteristiknya
Sejalan dengan perkembangan kesadaran moraliras, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual, emosional dan konatif. Para ahli seperti Daradjat, Starbuch, dan James (Makmun, 2009:108) sependapat secara garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Tahapan-tahapan itu ialah sebagai berikut, 1) masa kanak-kanak (sampai usia tujuh tahun); 2) masa anak sekolah(7-8 sampai 11-12 tahun); 3) masa remaja (12-18 tahun) dibagi ke dalam dua sub tahapan, yaitu remaja awal dan akhir.
Karakteristik penghayatan keagamaan pada masa anak sekolah (7-8 sampai 11-12 tahun), yang ditandai, antara lain sebagi berikut ini.
1) Sikap keagamaan bersifat reseptif (menerima saja apa yang dijelaskan orangtua atau guru kepadanya) tetapi disertai pengertian
2) Pandangan dan paham ke-Tuhan-an diterangkan secara rasional sesuai dengan kemampuan berpikir anak yaitu dengan cara yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari dan lebih konkret yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai perwujudan dari keberadaan dan keagungan-Nya;
3) Penghayatan secara rohaniah makin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual (ibadah keagamaan) diterima sebagai keharusan moral.
b. Proses Perkembangan Kecerdasan Spiritual dan Penghayatan Keagamaan
Agama tidak sama dengan spiritualitas, namun menurut Mikley (Desmita, 2014:208) agama bersama dengan eksistensial merupakan dimensi dari spiritualitas. Dimensi eksistesial berfokus pada tujuan dan makna hidup, sedangkan dimensi agama berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Potensi kecerdasan spiritual berkembang karena adanya pengaruh interaksi dengan lingkungan sekitar sampai akhir hayatnya. Anak-anak dilahirkan dengan kecerdasan spiritual yang tinggi. Namun perlakuan yang tidak tepat dari orang tua, sekolah dan lingkungan seringkali merusak apa yang mereka miliki. Menurut Daradjat (2010:75) bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan penghayatan keagamaan adalah orangtua, guru dan dan lingkungan. Pendidikan dilingkungan keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan penghayatan keagamaan. Hubungan yang harmonis dengan orangtua, disayang, dlindungi, dan mendapat perlakuan baik, maka anak akan mudah menerima kebiasaan orangtua, dan selanjutnya akan cenderung kepada agama. Sebaliknya hubungan dengan orangtua yang kurang harmonis, penuh tekanan, kecemasan, ketakutan, menyebabkan sulitnya perkembangan agama pada anak.
Pendidikan anak di sekolah, khususnya pendidikan agama di SD merupakan dasar bagi sikap jiwa agama. Apabila guru memberi sikap positif terhadap agama maka akan berpengaruh dalam membentuk pribadi dan akhlak yang baik. Pendidikan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat memegang peranan penting dalam memelihara dan mengembangkan potensi kecerdasan spiritual. Terpeliharanya kecerdasan spiritual akan mengoptimalkan IQ dan EQ.
Daradjat (2010:90) menyatakan penghayatan keagamaan berkaitan dengan kematangan intelektual dan dapat dikembangkan melalui pembiasaan juga memberikan pemahaman agama sesuai dengan tahap kemampuan berpikirnya.
3. Implementasi dalam Pembelajaran
a. Jadilah panutan dengan menampilkan sikap dan perilaku yang mencerminkan kepribadian dan moral yang baik, serta cerdas secara spiritual,
b. Ciptakan iklim belajar yang kondusif bagi perkembangan moral dan kecerdasan spiritual peserta didik. Selain pandai guru juga harus bersikap bijaksana, sabar, hangat dan ikhlas dalam melaksanakan tugas, dan bersikap positif terhadap pekerjaan. Sikap yang demokratis dan perlakuan yang baik dari guru akan membangun hubungan baik dengan peserta didik, sehingga iklim belajar yang kondusif bagi perkembangan peserta didik akan terwujud.
C. Pahami ada keragaman dalam perilaku moral dan kecerdasan spiritual karena tidak semua peserta didik memiliki lingkungan keluarga yang menjunjung moral dan spiritual yang tinggi serta keluarga yang harmonis. Oleh karena itu, guru harus bersikap menerima semua peserta didik, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Jangan bersikap kasar atau sinis kepada mereka yang belum menampilkan moral dan kecerdasan spiritual sesuai yang diharapkan, namun bersikap bijak dan tetap membimbing serta mendorongnya dengan sabar.
d. Rancang pembelajaran dengan memasukan aspek moral atau karakter dan spiritual dalam pembelajaran.
e. Kembangkan perilaku moral dan spiritual melalui pembiasaan yang disertai pemahaman dan disiplin yang disertai konsekuensi yang mendidik. Buatlah norma-norma perilaku moral/spiritual yang harus dilakukan yaitu jujur, empati, taat aturan, tanggung jawab, menghargai orang lain, mengasihi orang lain dsb.
f. Biasakan berdoa sebelum dan sesudah belajar dan dorong peserta didik untuk rajin beribadah serta libatkan mereka dalam kegiatan keagamaan dan sosial.
g. Buat suatu tugas kelompok/kelas yang dapat meningkatkan sikap altruisme (membantu orang lain dengan ikhlas). Beri mereka kebebasan untuk memilih kegiatan yang dapat membantu orang lain, mungkin membantu teman yang kesulitan belajar, membersihkan halaman sekolah, dsb (Santrock, 2007:124)
h. Bekerja sama dengan rekan guru, terutama guru agama serta orangtua untuk membantu meningkatkan perilaku moral dan kecerdasan spiritual. Sumber http://www.sekolahdasar.net/